Tag Archive | Ringkasan Buku Pengkajian Puisi

Ringkasan Buku Pengkajian Puisi

BAGIAN I
ANALISIS STRATA NORMA PUISI

BAB I
PENDAHULUAN

1. Pengkajian Puisi
Puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya.Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsur,mengingat bahwa puisi itu adalah strutur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan.Puisi dapat dikaji dari sudutkesejarahannya,mengingat bahwa sepanjang sejarahnya,dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan.
2. Puisi dan Pengertiannya
Di SMA,puisi biasa didefinisikan sebagai karangan yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk karangan bebas (Wirjosoedarmo, 1984:51). Menurutnya puisi itu karangan yang terikat oleh (1) banyak baris dalam tiap bait; (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris; (4) rima; dan (5) irama.Menurut Altenbernd (1970:2),puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum).Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting,digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Perbedaan pokok antara prosa dan puisi.
1) Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis;kesatuan korespondensi puisi resminya-bukan kesatuan sintaksis-kesatuan akustis.
2) Di dalam puisi korespondensi dari corak tertentu yang tetentu pula meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir.
3) Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir
Segala ulangan susunan baris sajak yang nampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan sajak,itulah yang dimaksud dengan korespondensi (Slametmuljana,1956:113). Kumpulan jumlah periodus itu merupakan baris sajak. Periodus adalah pembentuk baris sajak menurut istem, sedangkan periodisitas adalah sistem susunan bagian baris sajak (Slametmuljana,1956:112,113). Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), sedang prosa itu ekspresi konstruktif.Dalam bercerita orang menguraikan sesuatu dengan kata-kata yang telah tersedia;sedangkan dalam membuat puisi aktivitas bersifat pencurahan jiwa yang padat (liris dan ekspresif).
3. Puisi Itu Karya Seni
Puisi sebagai karya seni itu puitis.Kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara,misalnya dengan bentuk visual:tipografi,susunan bait;dengan bunyi:persajakan,asonansi,aliterasi,kiasan bunyi.lambang rasa,dan orkestrasi;dengan pemilihan kata(diksi),bahasa kiasan,sarana retorika,unsure-unsur ketatabahasaan,gaya bahasa,dan sebagainya.Antara unsure pernyataan (ekspresi),sarana kepuitisan,yang satu dengan yang lainnya saling membantu,saling merperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya,semua itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin,seintensif mungkin.

BAB II

ANALISIS PUISI BEEDASARKAN STRATA NORMA

Analisis Strata Norma Roman Ingraden
Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks,maka untuk memahaminya perlu dianalisisnsehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata.Analisis yang bersifat dichotomis,yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan(Wellek dan Warrren,1968:140).Karya sastra itu tak hanya merupakan satu system norma,melainkan terdiri dari beberapa strata(lapis) norma.Lapis norma pertama adalah lapis bunyi(sound stratum)Lapis arti (unit of meaning) berupa rangkaian fonem,suku kata,kata,frase,dan kalimat.Lapis stuan arti menimbulkan lapis yang ketiga,berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.Dunia pengarang adalah ceritanya yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang.Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi.Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsure (fenomena) karya sastra yang ada.Roman Ingarden menambahkan dua lapis norma yang menurut Wellek dapat dimasukkan dalam lapis yang ketiga yaitu
a) Lapis”dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan,tetapi terkandung dalamnya (implied).
b) Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublime,yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci),dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontenplasi) kepada pembaca.

BAB III
BUNYI

Dalam puisi bunyi bersifat estetik,merupakan unsure untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.Bunyi di samping hiasan dalam puisi,juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi,yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbukan rasa,dan menimbulkan suasana yang khusus,dan sebagainyai. Dalam kesusastraan Indonesia pernah kemasukan aliran romantic, yaitu Pujangga Baru. Dalam puisi bunyi dipergunakan sebagai orkestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik.
Kombinasi bunyi-bunyi vocal (asonansi):a,e,i,o,u,bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced):b,d,g,j,bunyi merdu dan berirama (efoni).Sebaliknya,kombinasi yang tidak merdu,parau,penuh bunyi k,p,t,s disebut kakofoni (cacophony). Kakafoni cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau,serba tak teratur,bahkan memuakkan.Di dalam puisi bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai symbol arti dan juga untuk okestrasi, digunakan sebagai:
1) Peniru bunyi atau onomatope;
2) Lambing suara (klanksymboliek);dan
3) Kiasan suara (klankmetaphoor) (Slametmuljana,1956:61).
Suasana hati yang ringan,riang,dilukiskan dengan bunyi vocal e dan i yang terasa ringan,tinggi,kecil.Contoh kata-kata yang mengandung rasa ringan, kecil,dan tinggi: sepi, kering, seni, pekik, perih, detik, rintik, gerimis, iris, kecil, renik, terik. Unsur kepuitisan yang lain ialah sajak.Menurut Slametmuljana (1956:75) sajak ilah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran.Sajak disebut pola estetika karena timbulnya dalam puisi ada hubungannya dengan keindahan.
Ada bermacam-macam sajak(rima) yang banyak dipergunakan sebagai unsure kepuitisan dalam puisi Indonesia adalah sajak akhir,sajak dalam, sajak tengah, aleterasi, dan asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa, selain untuk orkestrasi dan mempelancar ucapan. Sajak akhir mempunyai nilai puitis bila sajak itu mengandung hakikat ekspresi,yaitu bila turut memberi bantuan melahirkan dan mempelancar pelaksanaan dan penjilmaan angan.Aliran ekspresionisme masuk ke Indonesia dipelopori oleh Chairil Anwar,mengakibatkan timbulnya sajak-sajak bebas yang tak mementingkan pola sajak (akhir).Bunyi dipergunakan sebagai orketrasi,untuk menimbulkan bunyi music yang merdu,tetapi disesuaikan dengan analis-analis kepuitisan yang lain.

BAB IV
IRAMA

Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik,panjang pendek,keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur.Metrum adalah irama yang tetap,artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu.Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap,melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Pada umumnya puisi Eropa mempergunakan dasar metrum.Metrum itu banyak macamnya.Misalnya metrum jambis.Tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekan diikuti suku kata yang bertekanan (v-).Metrum anapest,tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan diikuti suku kata yang tak bertekanan,kemudian diikuti suku kata yang bertekanan (vv-).Metrum trochee atau trocheus,tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata yang tidak bertekanan.
Dalam puisi timbulnya timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi,misalnya sajak akhir,asonansi,dan aliterasi.Yang terasa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun.Puisi yang merdu bunyinya dikatan melodius:berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang mempunyai melodi.
Melodi adlah paduan susunan deret suara yang teratur dan berirama (Kusbini,1953:62).Melodi itu timbul karena pergantian nada kata-katanya,tinggi rendah bunyi yang berturut-turut.Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada macam bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tak seberapa banyaknya dan intervalnya (jarak nada) itu juga terbatas.Dalam berdeklamasi irama dan ketepatan ekspresi didapatkan dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata.Ada tiga jenis tekanan,yaitu tekanan dinamik,tekanan nada,dan tekanan tempo.Tekanan dinamik ialah tekanan pada kata yang terpenting menjadi sari kalimat dan bait sajak.Tekanan nada ialah tekanan tinggi (rendah).Tekanan tempo ialah lambat cepatnya pengucapan suku kata atau kata (atau kalimat).Dalam berdeklamasi perlu diperhatikan diksi,yaitu cara mengucapkan sajak (pidato,dan sebagainya) atau teknik pengucapannya supaya dapat mengucapkan setepat-tepatnya.Deklamator perlu juga memperhatikan timbre (warna bunyi) suaranya, yaitu corak bunyi,keadaan pembawaan atau sifat-sifat suara deklamator/tris yang tertentu,atau bunyi alat music yang tertentu,yang satu dengan yang lain sangat berbeda.

BAB V
KATA

Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata.Pengetahuan tentang kata berjiwa disebut stilistika.Sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas dri yang lain disebut leksikografi.Gramatika yang membicarakan efek dan kesan yang ditimbulkan oleh pemilihan kata dan penyusunan (penempatan) kata disebut tata bahasa stlistika, sedang yang lain yang membicarakan kaidah-kaidah bahasa disebut tata bahasa normative.Dalam puisi belum cukup bila hanya dikemukakan maksudnya saja,yang dikehendaki penyair ialah supaya siapa yang membaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan dan dialami penyair.
1. Kosa Kata
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa.Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata.Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat diperlukan.Pewnggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat member efek gaya yang realistik,sedang penggunaan bahasa/kata-kata nan indah dapat member efek romantic
2. Pemilihan Kata
Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi.Barfield mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik,maka hasilnya itu disebut diksi puitis (1952: 41). Jadi,diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan,untuk mendapatkan nilai estetik.Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain,maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbernd,1970:41).
3. Denotasi dan Konotasi
Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti,yaitu denotasi,ialah artinya yang menunjuk,dan konotasi,yaitu arti tambahannya.Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya,yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu,disebutkan,atau diceritakan (Altenbernd,1970:9).Bahasa yang denotative adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek,1968:22). Dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya,arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
4. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain,untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language).Bahasa kiasan ada bermacam-macam,namun meskipun bermacam-macam,mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum,yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd,1970:15).Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah:
a) Perbandingan
Perbandingan atau perumpamaan atau simile,ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan mempergunakan kata-katapembanding seperti:bagai,sebagai,bak,seperti,semisal,seumpama,laksana,sepantun,penaka,se,dan kata-kata pembanding yang lain.
b) Metafora
Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan,hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding,seperti bagai,laksana,seperti bagai,laksana,seperti,dan sebagainya.Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain,yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd,1970:15).Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian,yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term).Term pokok disebut juga tenor,term kedua disebut juga vehicle.Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan,sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan.
c) Perumpamaan Epos
Perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan,atau diperpanjang,yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut.Guna perbandingan epos ini seperti perbandingan juga,yaitu untuk member gambaran yang jelas,hanya saja perbandingan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya,bukan sekedar memberikan persamaannya saja.
d) Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan.Cerita kiasan atau lukisan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain.Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga baru.
e) Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia,benda-benda mati dibuat dapat berbuat,berpikir,dan sebagainya seperti manusia.Personifikasi ini banyak dipergunakan para penyair dari dahulu hingga sekarang. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu member kejelasan beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.
f) Metonimia
Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kisan pengganti nama.Bahasa ini berupa penggunaan sebuh atribut sebuh objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd,1970:21). Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya disbanding metafora, perbandingan, dan personifikasi ialah metonimia dan sinekdoki.
g) Sinekdoki (synecdoche)
Sinekdoki adlah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. (Altenbernd, 1970:22). Sinekdoki ini ada dua macam: 1. pars pro toto:sebagian untuk keseluruhan. 2. totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian.
5. Citraan (gambaran –gambaran angan)
Citraan adalah gambara-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkanya (Alternbernd, !970:12), sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image).Gambaran pikiran ini adlah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata,saraf,penglihatan,dan daerah-daerah otak yang berhubungan (yang bersangkutan). Coombes mengemukakan (1980:42-43) dalam tangan seorang puncak penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya menjernihkannya.
Jenis-jenis imaji
Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citra penglihatan (visual imagery).Citraan penglihatan adalah jenis yang saling sering dipergunakan oleh penyair dibandingkan dengan citraan yang lain.
Contoh:
Ruang diributi jerit dada(: pendengaran)
Sambal tomat pada mata
Meleh air racun dosa
(1957:34)
Penyair yang banyak menggunakan citra penglihatan disebut penyair visual,misalnya W.S Rendra.Altenbernd (1970:14) mengemukakan bahwa citraan adalah satu alat kepuitisan yang terutama yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat konkret,khusus,mengharukan,dan menyaran.Untuk memberi suasana khusus,kejelasan,dan memberi warna setempat (local colour) yang kuat penyair mempergunakan kesatuan citra-citra (gambaran-gambaran) yang selingkungan.Sajak yang menunjukkan adanya kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus.Sajak-sajak yang tidak menunjukkan kesatuan citraan menyebabkan gelap,seperti tidak ada saling hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.

6. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis (Slametmuljana Tt:20). Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat danm memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode itu ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham,konvesi dan konsepsi estetikanya. Sarana retorika yang dominan adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan. Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode itu ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Sarana-sarana retorika yang tidak banyak dipergunakan dalam puisi-puisi Pujangga Baru, diantaranya: Paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik,klimaks,kiasmus.
Tautologi adalah: saran retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Pleonasme adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama.
Enumerasi adalah saran retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slametmuljana, Tt:25).
Paralelisme adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana, Tt:29).
Retorik retisense adalah sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan.
Hiperbola adalah saran retorika yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan.
Paradoks aadalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir atau dirasakan.
7. Faktor Ketatabahasaan
Faktor ketatabahasaan meliputi faktor ketatabahasaan Chairil Anwar dan faktor ketatabahasan Sutardji.Faktor ketatabahasaan Chairil Anwar mencakup pemendekan kata, penghilangan imbuhan, penyimpangan struktur sintaksis. Sedangkan faktor ketatabahasaan Sutardji mencakup penghapusan tanda baca, penggabungan dua kata atau lebih,penghilangan imbuhan,pemutusan kata, pembentukan jenis kata.

BAGIAN II

I. ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK
a. Analisis struktural
Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya.Struktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan.
b. Analisis Semiotik
Menganalisis sajak adalah berusaha menangkap dan memberi makna pada teks sajak. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Karena sastra adalah sistem tanda yang lebih tinggi atas kedudukan dari bahasa, maka disebut sistem semiotik. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap makna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasrkan struktur sastra menurut konvesinya.Dalam pengertian tanda ada dua prinsip,yaitu penanda (signifer) atau yang menandai,yang merupakan bentuk tanda,dan penanda (signified) atau yang ditandai,yang merupakan arti tanda.Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda,ada tiga jenis tanda yang pokok,yaitu ikon,indeks,dan simbol.
c. Latar Belakang sejarah dan sosual budaya Sastra
Menurut teori struktural murni, karya sastra haruslah dianalisis struktur unsur intrinsiknya saja. Unsur-unsurnya dilihat dari kaitannya dengan unsur lainnya yang terjalin dalam struktur itu sendiri. Oleh karena itu, analisis struktural murni memiliki keberatan-keberatan yaitu diantaranya mengasingkan karya sastra dari kerangka kesejarahannya dan latar belakang sosial budayanya. Di samping itu, untuk mendapatkan makna sajak secara sepenuhnya, maka analisis sajak tidak dapat dilepaskan dari kerangka sejarah sastranya. Seperti telah dikemukakan, sebuah karya satra tidak lahir dalam kekosongan sastra.
II. ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK SAJAK AMIR HAMZAH
Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang dianalisis adalah sajak yang merupakan keseluruhan, yang unsur atau bagian-bagiannya saling erat berjalin (Hawkes, 1978: 18). Sajak merupakan kesatuan yang utuh atau bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah di sini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dianalisis secara nyata lebih lanjut. Sajak-sajak yang dianalisis secara khusus di sini : Padamu Jua, Barangkali, Hanya satu, Tetapi Aku, Sebab Dikau, Turun Kembali, Insaf dan Astana Rela.
a. Padamu Jua
Sajak ini merupakan monolog si aku kepada kekasihnya. Tuhan dalam sajak ini diantropomorfkan, diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan sebagai dara, sebagai kekasih, adalah salah satu cara untuk membuat pathos, yaitu menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca sehingga ia bersatu mesra dengan obyeknya (Budi Darma, 1982: 112). Penggunaan citraan yang berhubungan erat dengan bahasa kiasan, dalam sajak ini dipergunakan untuk membuat gambaran segar da hidup, dipergunakan secara sepenuhnya untuk memperjelas dan memperkaya, seperti dikemukakan oleh Coombes (1980: 43), yaitu citraan yang berhasil menolong kita untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap obyek atau situasi yang dialami dengan tepat, hidup dan ekonomis.
Citra gerak (kinaesthetik image): segala cintaku hilang terbang/ pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu: gerak itu ditandai dengan bunyi konsonan l diperkuat bunyi r, seolah tampak gerak burung terbang yang mengiaskan cinta yang hilang, begitu pula tampak gerak si aku yang lunglai. Citra rabaan (tactile/thermal image) dan penglihatan yang merangsang indera dipergunakan dalam: Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa (bait 4). Untuk merangsang pendengaran digunakan citra pendengaran (sound image) Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati. Unsur-unsur ketatabahasaan dipergunakan dalam sajak ini untuk ekspresivitas, membuat hidup, dan liris karena kepadatan dan kesejajaran/keselarasan bunyi dan arti meski menyimpang dari kaidah kata bahasa formatif.
b. Barangkali
Secara semiotik yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan bahasa sebagai tanda mempunyai arti (Preminger, 1974:980), pilihan kata-katanya dalam sajak ini menanadai suasana percintaan yang romantis, sesuai dengan khayalan si aku tentang kekasihnya. Metafora dalam sajak ini selain untuk membuat konkret tanggapan, juga dipergunakan untuk kesejajaran bunyi yang membuat ritmis: akasa swarga; nipis-tipis; di lengan lagu; selendang dendang; mata-mutiara-mu; dara asmara; swara swarna; pantai hati; gelombang kenang.Dalam sajak ini sarana-sarana kepuitisan yang telah terurai di atas dikombinasikan dengan fungsi bunyi. Irama dan ulangan-ulangan bunyi membuat liris dan menambah intensitas kegembiraan.
c. Hanya Satu
Dalam sajak ini digambarkan betapa hebat kekuasaan Tuhan. Ia menurunkan hujan lebat dan membangkitkan badai untuk menenggelamkan bumi serta merusak, menghancurkan taman dunia yang indah.Sajak “Hanya Satu” terdiri dari dua bagian yaitu bagian I adalah bait 1-4, bagian II bait 5-7. bagian I dipergunakan untuk menunjukkan badai, hujan, dan banjir besar yang menenggelamkan bumi, serta menghancurkan umat manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Secara ringkasnya oleh penyair ditunjukkan pada bagian I bahwa manusia hanya dapat mengetahui (mengenal) tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Karena itu, pada bagian II penyair mengemukakan kerinduannya dan hasratnya untuk dapat dekat rapat dengan Tuhan seperti ketika Nabi Musa di puncak di puncak bukit Tursina.
Dalam sajak ini, koherensi antara arti kata, suasana kegemuruhan, ketakutan, kedasyatan itu tampak dalam bagian I, 1-4, ditunjukkan dengan kata-kata yang mengandung arti kedasyatan, yang berekuevalensi dengan bunyi berat vokal a dan u, serta o: timbul ,kalbumu, terbang hujan, ungkai badai, membelah gelap.Pada bagian I digambarkan kedasyatan yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, maka citraanpun sesuai dengan itu yaitu citra gerak, visual, dan auditif (pendengaran). Pada bagian II, karena yang dikemukakan bersifat pemikiran, maka citra-citra yang dominan adalah citra-citra intelektual, yaitu hal-hal itu dapat dimengerti dengan berfikir.
d. Tetapi Aku
Dalam sajak ini dikemukakan oleh si aku bahwa ia tiba-tiba sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Sajak ini untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa metaforayang juga berupa citraan. Dalam bait kedua, untuk kepadatan digunakan sinekdoki totum pro parte. Dalam sajak ini untuk pothos, yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan obyeknya, dipergunakan citra-citra gadis, dara ang cantik bagai bidadari. Dalam sajak ini ekspresivitas dan intensitas arti dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat (menyangatkan) juga dengan unsur bunyinya yang selaras dengan pilihan katanya tersebut.
e. Sebab Dikau
Dalam sajak ini dikemukakan bahwa meskipun manusia hidup senang dengan kekasih dunianya, namun sesungguhnya manusia ini tak ubahnya hanyalah boneka yang dipermainkan oleh Tuhan sebagai dalangnya. Pada bait 1 dipergunakan metafora-metafora implisit. Bait 2, -3, -4, dan -5 merupakan perbandingan epos (epit simile) yaitu, perbandingan yang diteruskan secara panjang lebar. Bait -5 menjadi pengeras artinya, menjadi memperjelas sifat ironi, hal ini disebabkan juga oleh bunyi kakofoni, bunyi yang jelek, yang parau pada baris ke-2, -3, -4 yaitu bunyi k berturut-turut.
f. Turun Kembali
Dalam sajak ini dikemukakan ide bahwa manusia itu tidak bersatu dengan Tuhan. Manusia itu hamba, sedangkan Tuhan itu penghulu, maharaja. Manusia itu hidup di bawah lindungan Tuhan. Manusia itu dapat hidup senang berkat karunia Tuhan. Dalam sajak ini penyair mempergunakan bahasa-bahasa kiasan untuk mengkonkretkan ide yang abstrak, di samping untuk membuat ucapannya hidup dan menarik. Kiasan yang ada di dalam sajak ini pada umumnya berupa metafora, yang vehiclenya (term perbandingannya) sekaligus merupakan citraan.
Dalam sajak ini dikemukakan bahwa si aku mendapati jalan buntu karena semua permintaan dan pertanyaan tidak dijawab oleh Tuhan. Dalam sajak ini penyair mempergunakan kata-kata yang tidak biasa lagi dipergunakan pada waktu sekarang: astana = istana, ripuk: pecah-pecah (remuk), hancur, dewala: dinding, tembok; sempama:restu. Dalam sajak ini juga terdapat penyimpangan tata bahasa normatif untuk mendapatkan ekspresivitas dengan kepadatan, yaitu hanya intinya saja yang diucapkan.
g. Astana Rela
Pokok pikiran sajak ini bahwa tiadalah mengapa si aku dengan kekasihnya tidak berjumpa (hidup bersama) di dunia sebab si aku yakin bahwa nanti mereka akan bersua di surga. Dalam sajak ini tergambar adanya pertentangan antara dua hal, yaitu dunia dan akhirat. Sarana-sarana kepuitisan dalam sajak ini terutama berupa metafora dan citraan (imagery).
III. ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWAR

Proses analisis dan parafrase sajak-sajak Chairil Anwar adalah seperti analisis dan parafrase sajak-sajak Amir Hamzah dalam bab 2, sebagai berikut.
a) Aku
Secara struktural, dengan melihat hubungan antar unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukkan penegasan : ‘ku mau, aku tetap meradang, dsb.Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir.
b) Selamat Tinggal
Sajak ini merupakan penggalian masalah pribadi dan kesadaran kepada kejelekan dan kekurangan diri manusia sebagai pribadi. Sesungguhnya kata-kata dalam sajak ini adalah kata-kata biasa. Hanya saja karena konvensi puisi seperti dikemukakan oleh Preminger (1974:980-2), yaitu konvensi ekstrapolasi simbolik (mencari makan simbolik) dan konvensi makana, yaitu lirik yang kosong sebagai sesuatu yang mulia, maka kata-kata tersebut mempunyai kemampuan untuk ditafsirkan sebagai kata kiasan yang luas artinya.
c) Doa
Dalam sajak ini Chairil Anwar menyatakan pengertian itu dengan cara yang tidak langsung, dengan kiasan, dan gambaran yang artinya membias. Secara semiotik, sajak ini dikontrskan bunyi vokal u yang dominan dengan bunyi i yang juga berturut-turut. Dalam sajak “Doa” tampak adanya pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya: pemilihan kata serta bunyinya.
d) Kepada Peminta-minta
Mengenai arti kata ‘peminta-minta’, kata ini dapat berarti peminta-minta dalam arti harfiah, arti kamusnya yaitu orang yang meminta sedekah atau pengemis. Bahasa puisi adalah polyinterpretable (banyak tafsir) dan sangat konotatif (penuh arti tambahan) (Wellek, 1968:25), maka kata ‘peminta-minta’ dapat berarti kiasan yaitu orang yang meminta si aku untuk ingat kepada Tuhan, untuk menyembah Tuhan (Dia), sebab manusia itu ciptaan dan hamba Tuhan. Ide atau pengertian sifatnya abstrak, maka untuk memahaminya, supaya dapat dirasakan oleh pembaca, ide atau pengertian tersebut dikonkretkan dengan kiasan-kiasan dan citra-citra. Selain dikonkretkan dengan citra-citra serta kiasan seperti di atas, untuk menyatakan betapa tersiksanya si aku juga dipergunakan dalam sajak tersebut sarana retorika hiperbola.

Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
Pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
Mau lebih banyak tahu.
‘sedah lima anak bernyawa disini,
Aku salah satu!’
Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matannya menatap orang terselip batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
Di luar hitungan,: kamar begini,
3x4m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
(DCD,1959:23)
Dalam sajak ini penyair mengemukakan sebuah ironi kehidupan (di Indonesia), yaitu pertama orang luar itu selalu ingin mengetahui rahasia orang lain, atau mencampuri urusan orang lain. Kedua, dalam keadaan sangat menderita orang hanya berdoa, seperti si ayah si aku; ketiga, orang masih menambah anak lagi, padahal anaknnya sudah banyak dan dalam keadaan yang sangat menderita.

IV. KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI
Analisis structural yang digabungkan dengan semiotic disebut stukturalisme dinamik (Teeuw, 1983:62). Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal : penggantian arti (Displancing), pada umumnnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre : 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnnya).
Penyimpangan arti (Distorting), dikemukakan Rifatterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.Dan penciptaan arti (Creating of meaning), Terjadi penciptaan arti bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnnya secara linguistic tidak ada artinnya, misalnnya simitri, rima, enjembement, atau ekuivalensi=ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait.

V. HUBUNGAN INTERTEKSTUAL.
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstual antara suatu karya sastra dengan karya lain, abaik antara karya karya sezaman ataupun zaman sebelumnnya banyak terjadi. Misalnnya dapat dilihat antara karya-karya pujangga baru, dengan karya angkatan 45, ataupun dengan karya lain. Memahami sajak adalah usaha menangkap maknannya ataupun usaha member makna sajak. Untuk itu perlulah konteks kesejarahan sajak itu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan ini, perlu diperhatikan prinsip intertekstualitas, yaitu hubungan antara satu teks dengan teks yang lain.

VI. LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA
Pemahaman puisi tdak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan kebudayaan. Untuk dapat memberikan makna sepenuhnnya kepada sebuah sajak, selain sajak dianalisis struktur intrinsiknnya dan dihubungkan dengan kerangka kesejarahannya, diantarannya dengan intertektualitas, maka analisis tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial-budayannya ( Teeuw, 1983 : 61, 62). Penyair Indonesia berasal dari bermacam-macam masyarakat, sesuai dengan jumlah suku bangsa Indonesia.